Senin, 05 Februari 2024

MERAJUT KERUKUNAN ANTAR UMAT PEMILU

 Sido milih nomer piro cak?” Tanya saya kepada seorang sahabat dengan logat Jawa Timuran.

“Masih belum ada gambaran mas, gak seru debat tadi.” Jawabnya setelah menyeruput bebera tegukan kopi hitam yang tinggal seperempat gelas.

“Lho..lho.. Tinggal menunggu hari kok belum ada pilihan?” sahut saya kemudian.

“Ya, gimana mas. Kalau Prabowo kurang yakin dengan visi misinya, Anis kebanyakan teori objektifnya kurang, Ganjar senang jadi Sengkuni,” paparnya sembari terkekeh. (mkmkmkmk)

“Ya, kalau menurutku intinya kita pilih yang paling sedikit mudhorot-nya aja. Semua ada kelebihan dan kekurangnya masing-masing. Meminjam kata-kata Kyai Ainul Yakin; Dalam pemilu kita akan memilih presiden bukan nabi,” sambutku kemudian sambil tertawa (mkmkmkmk). Teringat ada quote yang terkirim di salah satu group whatshapp.

“Setuju mas.. Kalau pean sendiri pilih siapa?”

“Pilih nomor….(sensor) jangan bilang-bilang ya!” jawab saya sambil membisikan sesuatu. Sambil clingak-clinguk memastikan tak ada gerombolan teman-teman lain yang mendengarnya. ’Aman,’ pikirku, sebab mereka tampak khusyuk dengan game slotnya.



Dalam pemilu saya memilih untuk menerapakan asas Luber Jurdil sesuai  yang termaktub dalam pasal 2 UU No.7 tahun 2017 (UU Pemilu). F.Y.I LUBER JURDIL artinya adalah Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil. Maka sebagai masyarakat biasa yang bukan masuk dalam politik praktis serta bukan simpatisan, saya lebih memilih untuk merasahasiakan terlebih dulu pilihan saya, hingga usai pencoblosan nanti. Sampai detik ini, saya belum pernah berkoar-koar di media sosial manapun terkait pilihan saya.

Hal tersebut saya lakukan untuk mencegah terjadinya framing media yang memanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Meskipun secara sadar, saya bukan siapa-siapa. Tapi di era saat ini bukan tidak mungkin semua bisa diviralkan demi sebuah keuntungan sesaat. Serta tentu saja untuk mencegah sentimen negatif dari para teman, sahabat, tetangga serta keluarga karena berbeda pilihan.

Tentu saja sebagai negara demokrasi, siapa saja boleh berbicara secara gamblang, terang-terangan, tanpa takut akan konsekuensi hukum. Baik itu membongkar kejahatan, membeberkan penipuan, maupun mengungkapkan keburukan para penguasa. Tujuannya sangat baik, yaitu tercapainya keadilan untuk seluruh rakyat.

Tapi pada kenyataanya saat ini demokrasi justru disalahgunakan oleh beberapa pihak untuk mendongkrak popularitas bahkan elektabilitas para paslon dan partai politiknya. Sebaliknya dengan kekuatan para BuzzeRp serta simpatisan yang bertebaran di postingan dan kolom komentar media sosial, demokrasi justru digunakan untuk menjatuhkan pihak oposisinya. Lebih parahnya hal tersebut memicu para pengguna media sosial lain yang minim literasinya ikut-ikutan berkelahi tanpa henti. Hanya bermodal berita cuitan twiter, postingan ig dan tiktok yang diyakini benar mereka ikut menebar kericuhan di dunia maya. Sekali lagi tanpa mau check dan recheck yang mendalam tentang berita tersebut dari media yang punya kredibilitas dalam hal pemberitaan.

Apa yang terjadi kemudian? Jutaan aib terbongkar, jutaan kebencian tersebar, jutaan adu domba menjalar. Rakyat berkelahi dengan rakyat, elit politik dengan elit politik, artis dengan artis, teman dengan teman bahkan suami dengan istri serta anak dengan orang tua. Penyebabnya sangat sederhana, hanya karena berbeda pilihan saja.

Kita mungkin masih ingat dengan maraknya sebutan kecebong dan kampret di media sosial tahun 2019. Namun, apakah masih ingat dengan kasus meninggal dunianya 9 orang dalam aksi 21-23 Mei 2019? mereka berdemo menuntut pengusutan kecurangan pemilu 2019 pada Bawaslu yang berakhir dengan sebuah kericuhan dan menghilangkan nyawa beberapa orang.  Yang terjadi kemudian adalah, paslon yang dibela mati-matian justru masuk dalam kabinet oposisi, bagaimana perasaan korban dan keluarganya saat itu? tentu mereka kecewa dengan amat sangat. Terlebih hingga saat ini kasus itu kabarnya belum terselesaikan.

Pelajaran hebat yang bisa kita ambil adalah MENDUKUNG BOLEH, MENDEWAKAN JANGAN. Karena bisa jadi yang kita bela mati-matian saat ini justru akan menghianati janji-janjinya. Sebaliknya, bisa jadi yang kita cela mati-matian hari ini, akan memberikan kebermanfaatan di kemudian hari.

“Kritik seperlunya saat memang ada yang harus dikritik, apresiasi semampunya saat memang layak diapresiasi.” Semoga dengan cara seperti itu, kerukunan antar umat pemilu di 2024 ini bisa terjalin dengan mesra tanpa harus menimbulkan korban jiwa.

TABIK!

 

Budi Setiawan I 6 Februari 2024