“Sido milih nomer piro cak?” Tanya saya kepada seorang sahabat dengan logat Jawa Timuran.
“Masih belum ada gambaran mas,
gak seru debat tadi.” Jawabnya setelah menyeruput bebera tegukan kopi hitam
yang tinggal seperempat gelas.
“Lho..lho.. Tinggal menunggu hari
kok belum ada pilihan?” sahut saya kemudian.
“Ya, gimana mas. Kalau Prabowo
kurang yakin dengan visi misinya, Anis kebanyakan teori objektifnya kurang,
Ganjar senang jadi Sengkuni,” paparnya sembari terkekeh. (mkmkmkmk)
“Ya, kalau menurutku intinya kita
pilih yang paling sedikit mudhorot-nya
aja. Semua ada kelebihan dan kekurangnya masing-masing. Meminjam kata-kata Kyai
Ainul Yakin; Dalam pemilu kita akan memilih presiden bukan nabi,” sambutku
kemudian sambil tertawa (mkmkmkmk). Teringat ada quote yang terkirim di salah satu group whatshapp.
“Setuju mas.. Kalau pean sendiri pilih siapa?”
“Pilih nomor….(sensor) jangan
bilang-bilang ya!” jawab saya sambil membisikan sesuatu. Sambil clingak-clinguk memastikan tak ada
gerombolan teman-teman lain yang mendengarnya. ’Aman,’ pikirku, sebab mereka
tampak khusyuk dengan game slotnya.
Dalam pemilu saya memilih untuk
menerapakan asas Luber Jurdil sesuai yang termaktub dalam pasal 2 UU No.7 tahun
2017 (UU Pemilu). F.Y.I LUBER JURDIL artinya adalah Langsung, Umum, Bebas,
Rahasia, Jujur dan Adil. Maka sebagai masyarakat biasa yang bukan masuk dalam
politik praktis serta bukan simpatisan, saya lebih memilih untuk merasahasiakan
terlebih dulu pilihan saya, hingga usai pencoblosan nanti. Sampai detik ini,
saya belum pernah berkoar-koar di media sosial manapun terkait pilihan saya.
Hal tersebut saya lakukan untuk
mencegah terjadinya framing media
yang memanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Meskipun secara sadar, saya bukan
siapa-siapa. Tapi di era saat ini bukan tidak mungkin semua bisa diviralkan
demi sebuah keuntungan sesaat. Serta tentu saja untuk mencegah sentimen negatif
dari para teman, sahabat, tetangga serta keluarga karena berbeda pilihan.
Tentu saja sebagai negara
demokrasi, siapa saja boleh berbicara secara gamblang, terang-terangan, tanpa
takut akan konsekuensi hukum. Baik itu membongkar kejahatan, membeberkan
penipuan, maupun mengungkapkan keburukan para penguasa. Tujuannya sangat baik,
yaitu tercapainya keadilan untuk seluruh rakyat.
Tapi pada kenyataanya saat ini demokrasi
justru disalahgunakan oleh beberapa pihak untuk mendongkrak popularitas bahkan
elektabilitas para paslon dan partai politiknya. Sebaliknya dengan kekuatan
para BuzzeRp serta simpatisan yang
bertebaran di postingan dan kolom komentar media sosial, demokrasi justru
digunakan untuk menjatuhkan pihak oposisinya. Lebih parahnya hal tersebut
memicu para pengguna media sosial lain yang minim literasinya ikut-ikutan
berkelahi tanpa henti. Hanya bermodal berita cuitan twiter, postingan ig dan
tiktok yang diyakini benar mereka ikut menebar kericuhan di dunia maya. Sekali
lagi tanpa mau check dan recheck yang mendalam tentang berita
tersebut dari media yang punya kredibilitas dalam hal pemberitaan.
Apa yang terjadi kemudian? Jutaan
aib terbongkar, jutaan kebencian tersebar, jutaan adu domba menjalar. Rakyat
berkelahi dengan rakyat, elit politik dengan elit politik, artis dengan artis,
teman dengan teman bahkan suami dengan istri serta anak dengan orang tua.
Penyebabnya sangat sederhana, hanya karena berbeda pilihan saja.
Kita mungkin masih ingat dengan
maraknya sebutan kecebong dan kampret di media sosial tahun 2019. Namun, apakah
masih ingat dengan kasus meninggal dunianya 9 orang dalam aksi 21-23 Mei 2019?
mereka berdemo menuntut pengusutan kecurangan pemilu 2019 pada Bawaslu yang
berakhir dengan sebuah kericuhan dan menghilangkan nyawa beberapa orang. Yang terjadi kemudian adalah, paslon yang
dibela mati-matian justru masuk dalam kabinet oposisi, bagaimana perasaan
korban dan keluarganya saat itu? tentu mereka kecewa dengan amat sangat.
Terlebih hingga saat ini kasus itu kabarnya belum terselesaikan.
Pelajaran hebat yang bisa kita ambil
adalah MENDUKUNG BOLEH, MENDEWAKAN JANGAN. Karena bisa jadi yang kita bela
mati-matian saat ini justru akan menghianati janji-janjinya. Sebaliknya, bisa
jadi yang kita cela mati-matian hari ini, akan memberikan kebermanfaatan di
kemudian hari.
“Kritik seperlunya saat memang
ada yang harus dikritik, apresiasi semampunya saat memang layak diapresiasi.”
Semoga dengan cara seperti itu, kerukunan antar umat pemilu di 2024 ini bisa
terjalin dengan mesra tanpa harus menimbulkan korban jiwa.
TABIK!
Budi Setiawan I 6 Februari 2024







